Selasa, 06 Oktober 2009

Sejarah Gempa dan Tsunami di Jawa Timur

Indonesia, Wilayah Rawan Gempa
Sejarah Gempa dan Tsunami di Jawa Timur
Setiap kepala daerah di pantai selatan Jawa Timur diminta meningkatkan kewaspadaan.
Rabu, 7 Oktober 2009, 08:04 WIB
Heri Susanto
Peta zona rawan gempa Jawa Timur (vsi.esdm.go.id)



VIVAnews - Mengantisipasi terjadinya gempa di wilayah pesisir selatan Jawa Timur, Gubernur Jawa Timur Soekarno terus berupaya melakukan tindakan dan antisipasi bila ternyata benar prediksi Jawa Timur sebagai salah satu daerah yang rawan tsunami.

Soekarwo bukan saja melakukan langkah preventif diantaranya memasang 23 alat early warning system (EWS) atau alat deteksi dini yang ditempatkan di gunung dan laut, namun Gubernur juga telah mengirimkan radiogram ke seluruh kabupaten/kota beberapa hari lalu.

Isinya, berupa himbauan agar setiap kepala daerah terutama di pantai selatan Jawa Timur meningkatkan kewaspadaan. Melakukan sosialisasi ke masyarakat, mengintensifkan langkah preventif untuk menghindari banyak jatuh korban akibat bencana.

Jika mengacu pada sejarah gempa di Jawa Timur yang disebutkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, propinsi ini juga merupakan wilayah langganan gempa dengan jarak waktu yang berbeda-beda, dari tujuh tahun hingga belasan tahun.

Dari belasan kali gempa selama dua abad, Jawa Timur juga beberapa kali mengalami gempa besar, bahkan menimbulkan tsunami sehingga memakan korban dalam bilangan tak sedikit. Itu pernah terjadi di Trenggalek dan Banyuwangi.

Misalnya, gempa yang terjadi di Blitar-Trenggalek pada 37 tahun lalu, tepatnya pada 4 Oktober 1972 dengan kekuatan 6 skala Richter dan skala intensitas gempa sebesar V-VI MMI.

Gempa ini menimbulkan kerusakan sejumlah bangunan di Gandusari & Trenggalek. Goncangan terasa kuat sehingga mengakibatkan 250 orang meninggal, 127 orang hilang, 423 luka, 1.500 rumah rusak, 278 perahu rusak dan hilang. Gempa ini juga menimbulkan terjangan tsunami dengan ketinggian gelombang belasan meter dan terjangan ombak hingga mencapai 500 meter dari pantai.

Berikut sejarah gempa Jawa Timur yang dikutip VIVAnews dari Pusat Vulkanologi Departemen Energi.

22/03/1836
Gempa terjadi di Mojokerto. Tidak diketahui berapa kekuatan gempa tersebut, namun skala intensitas dampak gempa mencapai VII-VIII MMI. Akibat gempa ini terjadi kerusakan pada bangunan.

20/11/1862
Gempa terjadi di Madiun dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Akibat gempa ini sejumlah bangunan retak.

15/08/1896
Gempa terjadi di Wlingi dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Gempa terasa sampai Brangah. Kerusakan pada bangunan dan rumah penduduk.

20/08/1902
Gempa terjadi di Tulungagung dengan skala intensitas gempa mencapai VII MMI. Akibat gempa terjadi kerusakan pada bangunan.

11/08/1939
Gempa terjadi di Jawa Timur dengan skala intensitas VII MMI. Getaran gempa terasa hingga Rembang, Jawa Tengah. Sebuah rumah roboh di Brondong.

19/06/1950
Gempa terjadi di Jawa Timur dengan skala intensitas gempa mencapai VI MMI.
Beberapa bangunan retak. Getaran terasa sampai Kalimantan dan Jawa Barat.

20/11/1958
Gempa terjadi di Malang dengan skala intensitas gempa mencapai VII-VIII MMI.
Akibat gempa terjadi retakan pada bangunan, tanah, dan 8 orang tewas.

19/2/1967
Gempa terjadi di Malang dengan skala intensitas gempa sebesar VII - IX MMI. Kerusakan terparah terjadi di Dampit, 1.539 rumah rusak, 14 orang tewas, 72 orang luka-luka. Di Gondanglegi 9 orang tewas, 49 orang luka-luka, 119 bangunan roboh, 402 retak, 5 masjid rusak. Di Trenggalek 33 rumah bambu retak. Getara gempa terasa hingga Banyumas dan Cilacap di Jawa Tengah.

4/10/1972
Gempa terjadi di Blitar-Trenggalek dengan kekuatan 6 skala Richter dan skala intensitas gempa sebesar V-VI MMI. Akibatnya, terjadi kerusakan sejumlah bangunan di Gandusari & Trenggalek. Goncangan terasa kuat sehingga mengakibatkan 250 orang meninggal, 127 orang hilang, 423 luka, 1.500 rumah rusak, 278 perahu rusak dan hilang. Gempa ini juga menimbulkan terjangan tsunami dengan ketinggian gelombang belasan meter dan terjangan gelombang hingga mencapai 500 meter dari pantai.

3/6/1994
Gempa terjadi di Banyuwangi dengan kekuatan gempa mencapai 7 skala Richter dan skala intensitas gempa VIII MMI. Akibat gempa menimbulkan bencana di Rajegwesi, Gerangan, Lampon, Pancer, Pulau Sempu, Grajagan, Pulau Merah, Teluk Hijau, Sukamade, Watu Ulo, Teluk Sipelori dan Teluk Tambakan. Efek tsunami mencapai pantai Banyuwangi, Jember, Malang, Blitar, Tulung Agung, Trenggalek & Pacitan.

20/7/2003
Gempa terjadi di Pacitan dengan kekuatan 5,9 skala Richter. Akibatnya terjadi kerusakan pada sejumlah bangunan dan plester dinding lepas di rumah dinas Polres Pacitan, 4 rumah di desa Pucang Sewu, 1 rumah di desa Sambong, 1 rumah di desa Ponggok, Kecamatan Pacitan, Kabupaten Pacitan; 1 rumah di desa Wonocoyo, Kecamatan Panggul, Kabupaten Trenggalek; pasar Madiun dan sebuah Ruko di kota Yogyakarta. Getaran terasa di Pacitan, Trenggalek, Madiun, Surakarta, Yogyakarta hingga Surabaya. Terjadi gempabumi susulan.

Baca: Mengapa Indonesia Rawan Gempa

heri.susanto@vivanews.com
• VIVAnews

Jumat, 02 Oktober 2009

Itinerario, Buku Penyebab Indonesia Dijajah Belanda 3,5 Abad

Tahukah Anda bahwa karena sebuah bukulah maka bangsa Belanda bisa sampai di Nusantara dan melakukan penjajahan atas bumi yang kaya raya ini selama berabad-abad? Buku tersebut berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien , yang ditulis Jan Huygen van Linshoten di tahun 1595.






Inilah kisahnya:
Jauh sebelum Eropa terbuka matanya mencari dunia baru, warga pribumi Nusantara hidup dalam kedamaian. Situasi ini berubah drastis saat orang-orang Eropa mulai berdatangan dengan dalih berdagang, namun membawa pasukan tempur lengkap dengan senjatanya. Hal yang ironis, tokoh yang menggerakkan roda sejarah dunia masuk ke dalam kubangan darah adalah dua orang Paus yang berbeda. Pertama, Paus Urbanus II, yang mengobarkan perang salib untuk merebut Yerusalem dalam Konsili Clermont tahun 1096. Dan yang kedua, Paus Alexander VI.







Perang Salib tanpa disadari telah membuka mata orang Eropa tentang peradaban yang jauh lebih unggul ketimbang mereka. Eropa mengalami pencerahan akibat bersinggungan dengan orang-orang Islam dalam Perang Salib ini. Merupakan fakta jika jauh sebelum Eropa berani melayari samudera, bangsa Arab telah dikenal dunia sebagai bangsa pedagang pemberani yang terbiasa melayari samudera luas hingga ke Nusantara. Bahkan kapur barus yang merupakan salah satu zat utama dalam ritual pembalseman para Fir’aun di Mesir pada abad sebelum Masehi, didatangkan dari satu kampung kecil bernama Barus yang berada di pesisir barat Sumatera tengah.

Dari pertemuan peradaban inilah bangsa Eropa mengetahui jika ada satu wilayah di selatan bola dunia yang sangat kaya dengan sumber daya alamnya, yang tidak terdapat di belahan dunia manapun. Negeri itu penuh dengan karet, lada, dan rempah-rempah lainnya, selain itu Eropa juga mencium adanya emas dan batu permata yang tersimpan di perutnya. Tanah tersebut iklimnya sangat bersahabat, dan alamnya sangat indah. Wilayah inilah yang sekarang kita kenal dengan nama Nusantara. Mendengar semua kekayaan ini Eropa sangat bernafsu untuk mencari semua hal yang selama ini belum pernah didapatkannya.

Paus Alexander VI pada tahun 1494 memberikan mandat resmi gereja kepada Kerajaan Katolik Portugis dan Spanyol melalui Perjanjian Tordesillas. Dengan adanya perjanjian ini, Paus Alexander dengan seenaknya membelah dunia di luar daratan Eropa menjadi dua kapling untuk dianeksasi. Garis demarkasi dalam perjanjian Tordesilas itu mengikuti lingkaran garis lintang dari Tanjung Pulau Verde, melampaui kedua kutub bumi. Ini memberikan Dunia Baru—kini disebut Benua Amerika—kepada Spanyol. Afrika serta India diserahkan kepada Portugis. Paus menggeser garis demarkasinya ke arah timur sejauh 1.170 kilometer dari Tanjung Pulau Verde. Brazil pun jatuh ke tangan Portugis. Jalur perampokan bangsa Eropa ke arah timur jauh menuju kepulauan Nusantara pun terbagi dua. Spanyol berlayar ke Barat dan Portugis ke Timur, keduanya akhirnya bertemu di Maluku, di Laut Banda.

Sebelumnya, jika dua kekuatan yang tengah berlomba memperbanyak harta rampokan berjumpa tepat di satu titik maka mereka akan berkelahi, namun saat bertemu di Maluku, Portugis dan Sanyol mencoba untuk menahan diri. Pada 5 September 1494, Spanyol dan Portugal membuat perjanjian Saragossa yang menetapkan garis anti-meridian atau garis sambungan pada setengah lingkaran yang melanjutkan garis 1.170 kilometer dari Tanjung Verde. Garis itu berada di timur dari kepulauan Maluku, di sekitar Guam.

Sejak itulah, Portugis dan Spanyol berhasil membawa banyak rempah-rempah dari pelayarannya. Seluruh Eropa mendengar hal tersebut dan mulai berlomba-lomba untuk juga mengirimkan armadanya ke wilayah yang baru di selatan. Ketika Eropa mengirim ekspedisi laut untuk menemukan dunia baru, pengertian antara perdagangan, peperangan, dan penyebaran agama Kristen nyaris tidak ada bedanya. Misi imperialisme Eropa ini sampai sekarang kita kenal dengan sebutan “Tiga G”: Gold, Glory, dan Gospel. Seluruh penguasa, raja-raja, para pedagang, yang ada di Eropa membahas tentang negeri selatan yang sangat kaya raya ini. Mereka berlomba-lomba mencapai Nusantara dari berbagai jalur. Sayang, saat itu belum ada sebuah peta perjalanan laut yang secara utuh dan detil memuat jalur perjalanan dari Eropa ke wilayah tersebut yang disebut Eropa sebagai Hindia Timur. Peta bangsa-bangsa Eropa baru mencapai daratan India, sedangkan daerah di sebelah timurnya masih gelap.



Dibandingkan Spanyol, Portugis lebih unggul dalam banyak hal. Pelaut-pelaut Portugis yang merupakan tokoh-tokoh pelarian Templar (dan mendirikan Knight of Christ), dengan ketat berupaya merahasiakan peta-peta terbaru mereka yang berisi jalur-jalur laut menuju Asia Tenggara. Peta-peta tersebut saat itu merupakan benda yang paling diburu oleh banyak raja dan saudagar Eropa. Namun ibarat pepatah, “Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh juga”, maka demikian pula dengan peta rahasia yang dipegang pelaut-pelaut Portugis. Sejumlah orang Belanda yang telah bekerja lama pada pelaut-pelaut Portugis mengetahui hal ini. Salah satu dari mereka bernama Jan Huygen van Linschoten. Pada tahun 1595 dia menerbitkan buku berjudul Itinerario naer Oost ofte Portugaels Indien, Pedoman Perjalanan ke Timur atau Hindia Portugis, yang memuat berbagai peta dan deksripsi amat rinci mengenai jalur pelayaran yang dilakukan Portugis ke Hindia Timur, lengkap dengan segala permasalahannya.

Buku itu laku keras di Eropa, namun tentu saja hal ini tidak disukai Portugis. Bangsa ini menyimpan dendam pada orang-orang Belanda. Berkat van Linschoten inilah, Belanda akhirnya mengetahui banyak persoalan yang dihadapi Portugis di wilayah baru tersebut dan juga rahasia-rahasia kapal serta jalur pelayarannya. Para pengusaha dan penguasa Belanda membangun dan menyempurnakan armada kapal-kapal lautnya dengan segera, agar mereka juga bisa menjarah dunia selatan yang kaya raya, dan tidak kalah dengan kerajaan-kerajaan Eropa lainnya.

Pada tahun 1595 Belanda mengirim satu ekspedisi pertama menuju Nusantara yang disebutnya Hindia Timur. Ekspedisi ini terdiri dari empat buah kapal dengan 249 awak dipimpin Cornelis de Houtman, seorang Belanda yang telah lama bekerja pada Portugis di Lisbon. Lebih kurang satu tahun kemudian, Juni 1596, de Houtman mendarat di pelabuhan Banten yang merupakan pelabuhan utama perdagangan lada di Jawa, lalu menyusur pantai utaranya, singgah di Sedayu, Madura, dan lainnya. Kepemimpinan de Houtman sangat buruk. Dia berlaku sombong dan besikap semaunya pada orang-orang pribumi dan juga terhadap sesama pedagang Eropa. Sejumlah konflik menyebabkan dia harus kehilangan satu perahu dan banyak awaknya, sehingga ketika mendarat di Belanda pada tahun 1597, dia hanya menyisakan tiga kapal dan 89 awak. Walau demikian, tiga kapal tersebut penuh berisi rempah-rempah dan benda berharga lainnya.



Orang-orang Belanda berpikiran, jika seorang de Houtman yang tidak cakap memimpin saja bisa mendapat sebanyak itu, apalagi jika dipimpin oleh orang dan armada yang jauh lebih unggul. Kedatangan kembali tim de Houtman menimbulkan semangat yang menyala-nyala di banyak pedagang Belanda untuk mengikut jejaknya. Jejak Houtman diikuti oleh puluhan bahkan ratusan saudagar Belanda yang mengirimkan armada mereka ke Hindia Timur. Dalam tempo beberapa tahun saja, Belanda telah menjajah Hindia Timur dan hal itu berlangsung lama hingga baru merdeka pada tahun 1945. [] (Ridyasmara/eramuslim)

Kamis, 01 Oktober 2009

Mengenal pagelaran tayub dan sekilas sejarahnya



IRAMA musik mengalun dengan suara merdu. Suara gong, dipadu kendang dengan irama rancak saling menjalin, memacu semangat seorang penari Tayub yang bergoyang tanpa lelah. Tampak mimiknya yang ekspresif dengan geraknya yang gemulai, mereka berjoget mengikuti irama tembang-tembang Jawa populer. Kadang tampil sedikit atraktif, yang sangat menggoda perhatian para tamu. Kesenian ini memang sangat elok untuk ditonton. Seakan mata tak lelah tertuju pada para penari. Begitulah sedikit gambaran situasi dalam pagelaran tayub.

Salah satu suguhan musik etnik yang kami angkat dalam siaran di radio komunitas Kidoeng Rakyat adalah musik gamelan yang di representasikan dalam kesenian tayub. Tayub begitu popular terutama di daerah pedesaan di jawa, dimana masyarakatnya masih sarat dan kental dengan tradisi leluhurnya.

Sebagaimana daerah lain yang masih teguh memegang tradisi leluhur, keberadaan tayub dalam khasanah kebudayaan masyarakat pedesaan di Lamongan juga masih eksis, meski secara kwantitas pertunjukkan dan kelompok-kelompok seniman yang berkiprah didalamnya mulai menurun seiring dengan perkembangan zaman.

Pergeseran ini tidak terlepas dari penilaian minor terhadap pelaku dan penikmat kesenian tayub yang cenderung di katakan ‘saru’ dan dikesankan ‘jauh’ dari norma keagamaan, dan puncaknya terjadi pada era 65an. Pada dekade 80-an hingga 90-an , tayub kembali menjadi perhatian dalam komunitas masyarakat Jawa. Tayub yang dulunya disebut sebut sebagai “seni pinggiran”, dan “kampungan” perlahan namun pasti, kembali menarik hati masyarakat jawa. Tayub disebut “kampungan”, karena pergelaran tayub biasanya ditampilkan di kampung-kampung yang jauh dari suasana tata cara keraton. Yang biasanya, menunjuk perilaku yang tidak sopan, saru, kasar, erotic, dan urakan.

Wajah Pergelaran Musik Tayub.

Tayub adalah salah satu seni pertunjukan rakyat Jawa yang berujud tari berpasangan antara Ronggeng dan Pengibing. Acara tayuban biasanya diawali dengan penari wanita. Gendhing yang dialunkan pesinden acapkali terasa kuno. , biasanya yang digunakan adalah lagu-lagu langgam campursari dan dangdut.

Tayub pada mulanya merupakan ungkapan kegembiraan untuk menyambut kedatangan tamu dan merupakan bagian dari pesta rakyat. Kesenian ini berupa pertunjukan yang berbentuk tari berpasangan antara tledhek atau joged dengan penari lelaki sebagai penayub. Penari Tayub biasanya mengawali pentas dengan membawakan Tari Gambir Anom, sebuah tarian klasik dengan gaya lemah lembut. Setelah itu, mereka menarikan irama-irama yang sedikit rancak. Yang unik dari tarian ini adalah ikut sertanya para penonton atau tamu untuk menari bersama dengan penari Tayub. Tamu yang dipandang terhormat biasanya akan didaulat ikut menari dengan ditandai dikalungkannya sebuah sampur.

Hingga saat ini, Tayub masih digunakan di beberapa daerah baik di Jateng, maupun di daerah DIY Yogyakarta.Sedang untuk didaerah Jateng, biasanya yang masih membudidayakan Tayub yakni di daerah Sragen, Grobongan, Purwodadi, Blora, Pati, Jepara, dan Wonogiri.

Bukan hanya di jawa tengah, di jawa timur keberadaan tayub juga masih bisa kita saksikan di banyak daerah seperti Bojonegoro, Lamongan, Tuban, Nganjuk, Jombang, Malang, Blitar dan sekitarnya.

Fungsi pagelaran Tayub menurut apa yang dilakukan oleh leluhur kita dulunya adalah sebagai berikut;.

1. Upacara Pubertas
2. Upacara Inisiasi
3.Percintaan
4.Persahabatan
5. Upacara Kematian
6.Upacara Kesuburan
7.Upacara Perburuan
8.Upacara Perkawinan
9. Pekerjaan
10.Perang
11.Lawakan
12.Perbincangan
13.Tontonan
14.Pengobatan

Tayub dulunya bersifat sacral, dan profan/ yang religious.

Pergeseran Tayub.

Tayub kini telah berubah fungsinya dari yang bersifat sacral-religius,ke profan-sekuler.Kini pergelaran Tayub lebih sebagai seni hiburan, tari pergelaran, dan tontonan.

Sejarah Kesenian Tayub

Tayub mulai dikenal sejak jaman Kerajaan Singosari. Pertama kali digelar pada waktu Jumenengan Prabu Tunggul Ametung. Kemudian Tayub berkembang ke Kerajaan Kediri dan Mojopait. Pada Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub jarang dipentaskan. Pada waktu Jaman Kerajaan Demak, kesenian Tayub hanya dapat dijumpai di daerah pedesaan-pedesan yang jauh dari pusat kota kerajaan.

Seiring berjalannya waktu, sejak berdirinya kerajaan Pajang dan Mataram, kesenian ini mulai digali kembali. Malahan pada waktu itu Tayub dijadikan Tarian Beksan di Keraton yang digelar hanya pada waktu acara-acara khusus. Namun disayangkan, penjajah Belanda memasukkan unsur negatif yang dikenal dengan 3C, Cium, Ciu dan Colek.

Tayub yang telah terkena pengaruh negatif dari penjajah belanda terus terpelihara hingga pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono III. Sewaktu pemerintahan dipegang oleh Sunan Pakubuwono ke IV, beliau tidak berkenan dengan adanya pengaruh negatif tersebut. Akhirnya Tayub ditetapkan sebagai tari Pasrawungan di masyarakat. Selanjutnya kesenian tayub mengalami perkembangan di daerah Sragen, Wonogiri dan Purwodadi. Di daerah Sragen sendiri, kesenian Tayub banyak berkembang di Kecamatan Jenar, Gesi, Sukodono, Mondokan dan Ngrampal.

Citra kesenian tayub pada waktu itu, diperburuk ulah para penari pria atau penonton. Dulu, para penari ini biasa memberi sawer dengan cara memasukkannya ke kemben atau kain penutup dada. Dengan demikian muncul kesan bahwa penayub itu ”murahan”. Tetapi, di era sekarang hal semacam itu sudah amat jarang terjadi.

Menepis Kesan Miring

Kesan miring para penari tayub, dahulu memang sangat terasa. Namun seiring dengan perkembangan jaman, kebiasaan yang tinggalan penjajah tersebut kian lama kian menipis. Pakaian yang dikenakan para penari pun seiring perjalanan waktu, juga mengalami pergeseran. Kalau dulu pakaian yang dikenakan penari, biasanya hanya mengenakan kemben sebatas dada. Saat ini tampak lebih sopan.

Pakaian yang dikenakan tidak ubahnya seperti pakaian wanita adat Jawa kebanyakan. Tak Kian Redup Meski berkembang dalam lingkungan musik modern, popularitas Tayub tidak kian redup. Kesenian ini masih banyak dijumpai pada acara-acara hajatan di beberapa desa di wilayah Kabupaten Lamongan. Tantangan yang kini dihadapi tidak ringan. Perkembangan musik-musik modern dikawatirkan akan dapat menenggelamkankan kesenian Tayub, bila tidak diuri-uri sedini mungkin.