Senin, 28 September 2009

Sekilas Sejarah Lamongan

LATAR BELAKANG SEJARAH KABUPATEN LAMONGAN.

Kesejarahan Kabupaten Lamongan dibanding dengan beberapa wilayah Kabupaten Lainnya di Jawa Timur, nama Lamongan seolah tenggelam dalam khasanah kesejarahan yang beredar di masyarakat Indonesia pada umum. Beberapa daerah kabupaten lain di sekitar Lamongan mungkin sangat dikenal oleh banyak orang dari aspek kesejarahan wilayahnya, kita ambil contoh Mojokerto dengan kerajaan Majapahit-nya, Kabupaten Tuban dengan sejarah adipati Ranggalawe-nya yang juga terkenal pada era pemerintahan kerajaan Majapahit. Sejarah tidak banyak mencatat tentang keberadaan Kabupaten/wilayah Lamongan segamblang Kadipaten atau Kerajaan Tuban terlebih bila dibandingkan dengan Majapahit.

Berikut ini merupakan sekilas penggalan sejarah Kabupaten Lamongan yang telah berhasil dihimpun oleh Pemerintah Daerah Lamongan dan juga beberapa sumber lain yang saling menguatkan terhadap kesejarahan tersebut.

Kurun Pra-Sejarah

Wilayah kabupaten Lamongan sebenarnya sudah dihuni oleh manusia semenjak jaman sebelum masehi, hal ini berdasarkan temuan benda-benda kuno berupa kapak corang, candrasa, dan gelang-gelang (perhiasan) kuno di sekitar Desa Mantup Kecamatan Mantup. Beberapa penemuan lain berupa Nekara dari perunggu yang ditemukan di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Benda-benda tersebut menurut periodesasi prasejarah termasuk dalam masa perundagian di Indonesia yang berkembang semenjak lebih kurang 300 SM.

Bukti-bukti lain yang memperkuat bahwa wilayah Lamongan telah dihuni manusia pada prasejarah ialah ditemukannya kerangka manusia, dan manik-manik kaca, lempengan emas, kalung-kalung emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang dan lain-lain juga di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring. Sistem penguburan dengan menggunakan nekara sebagai wadah jasad manusia dan benda-benda milik si mati, berlaku pada masa perundagian. Kapak corong dan candrasa saat ini disimpan di Museum Mpu Tantular Surabaya di bawah no.4437 dan 4438, begitu juga dengan nekara.

Masa perkembangan Hindu

Pengaruh agama dan kebudayaan hindu di wilayah Lamongan agaknya cukup luas, hal ini terbukti dengan ditemukannya arca dan lingga -yoni. Arca yang ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah, tersebar di wilayah kecamatan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng, dan Kembangbahu. Sedangkan lingga dan yoni ditemukan di 3 wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan Ngimbang, Kembangbahu dan Sugio.

Hingga sekarang belum dapat dipastikan sejak kapan pengaruh agama dan kebudayaan hindu tersebut mulai masuk dalam kehidupan masyarakat di wilayah Lamongan, namun munculnya nama wilayah ini dalam panggung sejarah majapahit hingga arti penting wilayah ini bagi kerajaan majapahit adalah pada akhir abad XIV. Peranan wilayah Lamongan dalam Pemerintahan Majapahit ini dapat diketahui dengan ditemukannya 43 buah prasasti peninggalan Majapahit di wilayah Lamongan.
Menilik dari sebaran prasasti yang ada di wilayah Lamongan, dapat dipastikan bahwa eksistensi masyarakat Lamongan dalam bidang politik dan keagamaan disamping merata, juga kuat. Sebaran prasasti itu terdapat di wilayah-wilayah kecamatan meliputi Kecamatan Lamongan sebanyak 2 buah, Mantup 2 buah, Modo 7 buah, Ngimbang 8 buah, Sambeng 9 buah, Bluluk 6 buah, Sugio 2 buah, Deket 1 buah, Turi 1 buah, Sukodadi 1 buah, Babat 1 Buah, Brondong 1 buah, Paciran 2 buah.

Dari 43 buah prasasti tersebut, 39 buah diguris di atas batu dan 4 lainya diguris diatas lempengan tembaga, yang dikenal dengan Pasasti Biluluk I,II,III, dan IV yang saat ini disimpan di Museum Nasional Jakarta dengan kode E.97 a-d. Prasasti ini berasal dari zaman Raja Hayam Wuruk (1350-1389) dan Wikramawhardana (1389-1429). Prasasti tersebut ditulis dalam huruf jawa kuno dan telah di transkrip oleh Dr. Callenfels dalam OV.1917,1918, dan 1919. H.M Yamin memuat kembali transkrip itu dengan sari terjemahannya kedalam bahasa Indonesia dalam bukunya Tata Negara Majapahit Parwa II . Museum Nasional menyalin kembali dalam buku Prasasti Koleksi Museum Nasional I, dan Pigeaud membahasnya secara mendalam pada bab tersendiri dalam bukunya Java in the 14th Century.

Dari banyaknya prasasti yang ditemukan, diperoleh petunjuk yang kuat bahwa wilayah lamongan merupakan wilayah yang cukup berarti bagi pemerintahan kerajaan majapahit, secara kebudayaan dan agama. Petunjuk lain kyang dapat diperoleh ialah bahwa perhubungan antara pusat wilayah kerajaan dengan wilayah Lamongan sudah cukup ramai.

Prasasti biluluk I-IV yang berangka tahun 1288 – 1317 Saka atau tahun 1366-1395 M merupakan suarat atau titah raja yang diturunkan dan tujukan kepada kepada keluarga kerajaan yang memerintah di biluluk dan Tanggulunan.

Isi prasasti itu antara lain;

1. orang biluluk diberi wewenang untuk menimba air garam pada saat upacara pemujaan sekali setahun, sebagaimana yang telah mereka miliki sejak dulu asal tidak diperdagangkan. Apabila diperdagangkan akan dikenakan cukai.
2. Rakyat biluluk dan tanggulunan memperoleh perlindungan dan restu raja, sehingga siapa saja yang merugikan mereka akan terkena supata atau kutukan yakni akan menderita kecelakaan, seperti antara lain; apabila mereka berada dipadang tegalan akan digigit ular berbisa, apabila masuk hutan akan diterkam harimau, apabila masuk rumah akan diselubungi dan dimakan api, dimana saja akan sengsara, celaka dan mati.
3. Memberi kebebasan kepada rakyat biluluk untuk melakukan berbagai pekerjaan seperti ; berdagang , membuat arak, memotong, mencuci, mewarna, memutar (menurut pigeaud, membuat tepung, gula aren, atau tebu), dan membakar kapur tanpa dipungut pajak.
4. Status daerah perdikan biluluk dan tanggulunan ditingkatkan dari daerah shima menjjadi daerah swatantra, sebagai daerah swatantra atau otonom dan rakyat yang dicintai oleh raja, mereka bebas dari kewajiban membayar upeti dan memberi jamuan makan seerta bekal kepada para petugas kerajaan yang sedang lewat atau singgah. Mereka juga dibebaskan membayar berbagai macam cukai, seperti perkawinan, dukun bayi, pembakaran jenazah, upacara kematian (nyadran), angkutan, pendirian rumah, pertunjukan, penitipan barang dagangan berupa cabai kemukus, kapulaga, besi, kuali besi, pinggan rotan dan kapas.
5. Petunjuk bahwa daerah bluluk dan tanggulunan diberi status swatantra, agar tidak dikuasai oleh sang katrini (pejabat tinggi negara), melainkan mempunyai kekuasaan terhadap tukang dan pegawai dengan hak-hak pengaturan perekonomian, keamanan dan ketentraman.
6. Kegiatan perekonomian diwilayah kerajaan majapahit umumnya di biluluk dan tanggulunan khususnya sangat penting artinya bagi negara dan penduduk sendiri. Komoditi perdagangan dari biluluk yang menonjol adalah; garam gula kelapa atau aren, dan daging dendeng. Dendeng pada masa itu tergolong makanan mewah dan komoditas dagangan yang mahal. Bagi rakyat biluluk sendiri, perdagangan dendeng sangat menguntungkan. Usaha yang juga berkembang di biluluk ialah pencelupan atau pewarnaan kain, penggilingan beras atau tepung, dan bahan-bahan makanan dari tepung umbi atau kentang.
7. Setiap tahun diselenggarakan keramaian atau pasar tahunan yang berfungsi sebagai promosi berbagai macam barang dagangan.

bersambung,...................................................................

Sejarah Orang Jawa di Suriname

Sejarah kolonial dan migrasi tenaga kerja telah menghasilkan komunitas yang unik jauh dari pantai Indonesia ..... Mungkin beberapa orang di Indonesia tahu bahwa ada komunitas besar orang-orang keturunan Indonesia yang tinggal di utara benua Amerika Selatan. Lebih dari 70.000 'Jawa' hidup di Suriname, sebuah bekas koloni Belanda dan bersemangat negara multikultural terletak di utara Brasil di pantai Karibia.

Walaupun mereka telah di sana selama beberapa generasi, banyak dari mereka masih mengidentifikasi Jawa, walaupun sangat sedikit yang pernah mengunjungi pulau Jawa atau memelihara hubungan keluarga di sana. Tetapi mereka berbicara creolised versi bahasa Jawa, nama Jawa muncul pada semua tingkat masyarakat dan unsur-unsur budaya Jawa (seperti masakan) telah mempengaruhi bangsa ini budaya Karibia. Sebuah sejarah kolonial Kenapa puluhan ribu orang dari keturunan Jawa tinggal di Suriname? Ini semua harus dilakukan dengan penghapusan perbudakan dan pentingnya sistem perkebunan di koloni ini. Pada 1863, pemerintah Belanda membebaskan lebih dari 33.000 budak di Suriname. Dalam dampak penghapusan ini, pihak berwenang mengikuti koloni Karibia lain dengan mengimpor pekerja diwajibkan dari British India untuk memasok perkebunan dengan buruh murah dan patuh. Lima tahun kontrak rinci hak-hak dan tugas dari indentureds. Penting bagi sistem buruh kontrak yang disebut sanksi pidana, yang memberikan hak majikan untuk menekan tuntutan pidana terhadap indentureds yang melanggar kontrak kerja mereka. Antara 1873 dan 1916 lebih dari 34.000 orang Indian Inggris datang ke Suriname.

Namun, keraguan muncul pada sumber tenaga kerja kontrak ini. Masalah utama adalah bahwa imigran India Inggris tetap warga negara asing, dan karena itu cukup proporsi penduduk suriname akan segera Inggris. Selain itu, mata pelajaran ini bisa naik banding terhadap keputusan tertinggi otoritas Belanda dan meminta bantuan dari Konsul Inggris, yang tidak akan meningkatkan kepatuhan dari tenaga kerja. Kekhawatiran tambahan adalah ketergantungan pada negara asing untuk tenaga kerja dan gerakan nasionalis yang berkembang di India, yang galak menyerang sistem kontrak migrasi. Bahkan, di India sistem ini dihapus pada 1916. Beralih ke Jawa dianggap sebagai alternatif sumber tenaga kerja.

Upaya awal untuk mengimpor orang dari Jawa datang ke sia-sia karena pemerintah Belanda tidak mengizinkan migrasi dari Jawa ketika ada ada kemungkinan untuk memperoleh tenaga kerja di India. Namun gerakan untuk merekrut Jawa mendapatkan kekuatan di tahun 1880-an akibat perubahan iklim politik di India. Keuntungan lain adalah bahwa Belanda sendiri akan mengendalikan proses rekrutmen dan imigrasi dan tidak akan bersaing dengan merekrut negara-negara lain, seperti yang terjadi di India.

Tradisi budaya jawa telah terbukti menjadi kuat, walaupun perubahan dan penyesuaian di Suriname, misalnya dalam bahasa, tidak terhindarkan menteri kolonial Belanda keberatan untuk emigrasi dari Jawa hingga akhir 1887 oleh berargumen bahwa rakyat Jawa tidak cenderung untuk bermigrasi ke jauh-jauh dan tidak dikenal Suriname. Setelah melobi berat dari Suriname pekebun dan pejabat, pemerintah akhirnya memutuskan untuk membiarkan percobaan pertama dengan kontrak seratus Jawa migran pada tahun 1890. Meskipun keraguan tentang kekuatan fisik pekerja baru, migrasi ke Jawa suriname sekarang berwenang. Secara total, hampir 33.000 Jawa bermigrasi ke Suriname pada periode 1890-1939. Jawa Tengah dan daerah dekat Batavia (Jakarta), Surabaya dan Semarang merupakan daerah perekrutan utama. Hanya 20 hingga 25 persen dari migran Jawa kembali ke negara asal mereka sebelum Perang Dunia II. Sebagian besar imigran menetap di Suriname. Migran ditugaskan untuk perkebunan. Menurut kontrak, perkebunan harus menyediakan perumahan gratis bagi buruh. Namun, kualitas perumahan sering di bawah standar.

Para pejabat India Timur Belanda H. van Vleuten, yang mengunjungi Suriname pada tahun 1909 untuk menyelidiki hidup dan kondisi kerja orang Jawa, melaporkan bahwa kehidupan rumah tangga dari imigran Jawa menampakkan diri kepadanya sebagai 'agak menyedihkan'. Sebagian besar kamar 'memberi kesan kemiskinan besar penduduk mereka. " Kontrak kerja tetap upah laki-laki dan perempuan, tetapi kebanyakan indentureds menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah yang terdaftar. Van Vleuten menyimpulkan bahwa "upah rata-rata yang diterima oleh pekerja kontrak jauh di bawah minimum." Dia berargumen bahwa penghasilan itu terlalu rendah untuk mencari nafkah di sebuah koloni semahal Suriname. Selain masalah materi ini, orang Jawa juga harus menghadapi penyesuaian untuk hidup baru, diet, dan bekerja rezim dalam lingkungan yang sering bermusuhan. Tidak mengherankan, kerinduan melanda banyak migran. Keinginan untuk kembali ke Jawa menjabat sebagai bentuk pelarian. Ini pelarian dan teknik lainnya, seperti pura-pura penyakit, tersembunyi menjabat sebagai bentuk protes terhadap sistem surat perjanjian rangkap dua. Kontinuitas budaya Tradisi budaya Jawa telah terbukti menjadi kuat, walaupun perubahan dan penyesuaian di Suriname, misalnya dalam bahasa, tidak terhindarkan. Namun generasi kedua dan kemudian masih mengidentifikasi dengan negara asal mereka. Para pemerintah Suriname juga secara aktif mempromosikan kelangsungan hidup budaya Jawa di masa sebelum Perang Dunia II. Pada tahun 1930, gubernur memulai sebuah 'Indianisation' proyek untuk mengisi koloni dengan petani Jawa, yang akan menetap dalam gaya Jawa-desa (desa) lengkap dengan agama mereka sendiri dan kepemimpinan sipil.

Program ini dipotong oleh perang. Setelah perang, lanskap politik berubah diperbolehkan untuk pembentukan partai-partai politik di Suriname. Kedua partai-partai Jawa, seperti semua pihak lain, berdasarkan etnisitas daripada ideologi. Sana ada persaingan yang kuat antara para pemimpin mereka, Iding Soemita dan Salikin Hardjo. Yang terakhir ini tidak terlalu berhasil dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1949 dan kemudian berkonsentrasi pada mendorong kembali ke Jawa oleh kelompok memilih orang terampil. Pada tahun 1954, seribu Jawa berlayar bagi Indonesia, untuk memulai sebuah koperasi pertanian di Tongar di Sumatera Barat. Eksodus kedua terjadi di tahun 1970-an, ketika sekitar 20.000 orang Jawa berangkat ke Belanda pada malam kemerdekaan Suriname pada tahun 1975.

Politik, pentingnya kelompok penduduk Jawa tidak bisa dibantah politik, pentingnya kelompok penduduk Jawa tidak bisa dibantah. Sering orang Jawa terus keseimbangan antara yang lebih besar dan lebih kuat Afro-Suriname dan Hindustan (mantan British Indian) kelompok. Saat ini, Paulus Slamet Somohardjo adalah pertama-pernah Jawa Ketua Majelis Nasional. Pembangunan sosio-ekonomi mereka lebih lambat, tetapi sejak tahun 1960-an orang Jawa telah mengejar kelompok populasi lain, meskipun tingkat urbanisasi masih lebih rendah dibandingkan dengan kelompok besar lainnya.

Menyusul runtuhnya perkebunan di paruh pertama abad kedua puluh, banyak orang Jawa yang ditemukan bekerja di industri bauksit dan sektor pertanian. Hanya dalam dekade terakhir abad terakhir melakukan kehadiran Jawa dalam bisnis, profesi dan peningkatan layanan sipil. Demografis, orang Jawa sudah lama menjadi penduduk terbesar ketiga grup, tetapi Maroon (keturunan budak yang melarikan diri) sempit melebihi mereka dalam sensus terakhir tahun 2004. Menurut angka-angka ini, para kelompok Hindustan menghitung 135.000 orang, diikuti oleh Afro-Suriname (87.500), Maroon (72.600), dan Jawa (71.900). Orang Jawa yang unik telah menambahkan elemen etnis dan budaya ke Karibia dan Amerika Latin. Namun, hal ini tidak menghasilkan banyak kepentingan penelitian di Jawa dan kebudayaan mereka. Oleh karena itu akan baik untuk memperoleh pengetahuan tentang kehidupan, budaya, dan kemajuan dari Jawa di Suriname. Hal ini tentu worth it!
Ditulis oleh: Rosemarijn Hoefte